Rapat Paripurna DPR RI telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang. Pengesahan ini dilakukan setelah enam bulan proses pembahasan yang intensif antara berbagai fraksi di DPR.
Dukungan datang dari delapan fraksi yang menyatakan urgensi KUHAP baru untuk memperkuat penegakan hukum. Rencananya, undang-undang ini akan mulai diberlakukan pada 2 Januari 2026 bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sebelumnya telah disahkan.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menegaskan bahwa KUHAP sangat krusial bagi penegak hukum di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih baik di negeri ini.
Namun, meskipun banyak yang menganggapnya sebagai kemajuan, banyak pihak juga mengkritisi isi dari RKUHAP. Beberapa menganggap bahwa adanya pasal-pasal tertentu justru memperkuat kewenangan aparat penegak hukum secara berlebihan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mencatat terdapat delapan poin kritikal dalam undang-undang baru ini yang dapat menimbulkan potensi kesewenang-wenangan. Hal ini menjadi perhatian serius karena bisa berdampak negatif pada hak asasi manusia di Indonesia.
Pasal Kontroversial dalam RKUHAP yang Perlu Diperhatikan
Beberapa pasal dalam KUHAP baru memicu perdebatan panas, seperti pasal yang mengatur penangkapan dan penahanan. Koalisi mengkhawatirkan Pasal 5 yang memungkinkan individu ditahan meskipun hanya dalam tahap penyelidikan.
Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, menilai ada kekurangan signifikan dalam pemisahan antara penyelidikan dan penyidikan. Situasi ini memberikan celah bagi penegak hukum untuk menyalahgunakan kewenangan yang ada.
Lebih lanjut, Fickar menegaskan bahwa ketentuan tersebut bisa mendorong praktik targetting oleh penyidik terhadap individu yang dianggap mencurigakan. Ini adalah titik lemah yang perlu dievaluasi ulang oleh DPR.
Habiburokhman membela kepentingan RKUHAP dengan menyatakan bahwa penangkapan oleh penyelidik dilakukan atas perintah penyidik. Dia melihat kewenangan ini sebagai solusi atas keterbatasan yang ada dalam jumlah penyidik saat ini.
Di sisi lain, kritik juga muncul terkait penerapan metode undercover buying dalam pasal baru. Fickar memandang bahwa penggunaan metode ini untuk kasus selain narkoba dapat memunculkan potensi pemerasan.
Kekhawatiran atas Kekuatan Hukum yang Terpusat
Terlepas dari pro dan kontra, kekhawatiran mengenai konsentrasi kekuasaan di tangan aparat kepolisian juga mendapat sorotan. Herdiansyah Hamzah, seorang pakar hukum, mengingatkan bahwa pasal tertentu akan memberikan inisiatif yang sangat besar kepada Polri mengenai proses hukum.
Pergeseran ini dapat berpotensi melemahkan sistem check and balance yang selama ini ada. Penegakan hukum harus mencerminkan keadilan dan kepastian hukum, bukan sekadar kekuasaan yang terfokus pada satu pihak.
Herdiansyah juga mencatat bahwa upaya pengawasan yang kurang ketat dapat membuka peluang penyalahgunaan yang lebih besar. Ini semakin berisiko dalam konteks perlindungan hak asasi manusia.
Sementara itu, Habiburokhman tetap optimis bahwa semua pasal yang ada sudah mempertimbangkan asas divergensi fungsional dalam penegakan hukum. Menurutnya, setiap lembaga tetap dapat berfungsi tanpa ada tumpang tindih yang merugikan.
Tujuan akhir dari hukum adalah kepastian dan keadilan bagi semua orang, bukan justru menciptakan keraguan di kalangan masyarakat tentang keabsahan penegakan hukum yang dilakukan.
Proses Penegakan Hukum yang Berisiko Penuh Ketidakpastian
Kemudian, banyak pembicara mengutarakan kekhawatiran mereka mengenai kebebasan akademik dalam konteks penyelidikan. Beberapa pasal yang mengizinkan penyadapan tanpa izin hakim sangat mengkhawatirkan bagi dunia penelitian.
Kebebasan untuk mencari dan menyebarkan informasi telah menjadi pilar penting dalam demokrasi, tetapi undang-undang baru ini bisa mengancam integritas tersebut. Peneliti mungkin takut untuk melakukan penelitian yang benar-benar objektif karena tekanan dari aparat yang memiliki wewenang besar.
Wakil Menteri Hukum, Eddy Hiariej, berpendapat bahwa tetap ada mekanisme untuk meminta izin dalam situasi mendesak, namun ketentuan ini tidak selalu dapat diterima jika dilihat dari perspektif hak asasi manusia.
Sikap skeptis terhadap KUHAP baru ini sangat penting agar proses hukum menjadi transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Terlalu banyak kekuasaan yang terpusat pada satu entitas dapat menciptakan suasana yang tidak kondusif bagi penegakan hukum yang adil.
Lebih dari itu, ketidakpastian yang muncul akibat pasal-pasal tersebut dapat menciptakan ketakutan dalam masyarakat yang lebih luas, yang seharusnya tidak terjadi di negara demokratis.
